TIMES PAPUA, PAPUA – Anu Beta Tubat pada dasarnya adalah praktek gotong royong, dimana beban satu orang sama-sama dipikul, yang dilakukan oleh masyarakat Maybrat di Provinsi Papua Barat. Anu Beta Tubat yang berarti bersama kita semua mengangkat suatu beban.
Semangat gotong royong orang Maybrat ini sudah ada sejak zaman leluhur, dimana masyarakat bahu-membahu berswadaya mengatasi berbagai hambatan atau tantangan seperti membuka kebun atau ladang, menyekolahkan anak, pembayaran maskawin (mahar) atau denda adat menurut adat istiadat setempat, dan pembangunan rumah permanen.
Anu beta tubat merupakan karya budaya dari Papua Barat yang saat ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak benda Indonesia pada tahn 2017. Karya budaya ini masuk dalam "Pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta" dengan nomor pencatatan 201700594. Anu Beta Tubat merupakan kearifan lokal dari penduduk Maybarat yang memiliki makna kebersamaan. Satu hal yang selaras dengan konseptual masyarakat tradisional yang banyak dinarasikan oleh para periset budaya.
Seperti pernyataan Belcher & Kusters memberi narasi jika masyarakat tradisional masih tergantung dua produk hasil hutan yaitu tumbuhan dan hewan, yang mana produk hasil hutan langsung tersebut digunakan dalam kehidupan rumah tangga, baik dikonsumsi maupun dijual ke pasar. Hutan dengan segala sumberdaya alamnya sangat bermanfaat, tidak saja berbentuk hasil hutan tetapi juga berupa hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Praktik Anu Beta Tubat
Secara adat, Anu Beta Tubat telah berlangsung turun-temurun sejak masa silam hingga saat ini. Pelestarian nilai-nilai budaya Maybrat yang tidak hanya dikenal oleh masyarakat Suku Maybrat saja, tetapi menjadi pengetahuan yang disebarkan dan dikenal oleh masyarakat Papua.
Dalam urusan perkawinan yang memerlukan biaya besar terutama untuk urusan mas kawin berupa kain-kain timur yang mahal, keluarga besar gotong royong menanggung biaya, dengan harapan bila anak dari keluarga penyumbang menikahkan putranya dan harus menyiapkan maskawin, keluarga yang pernah menerima sumbangannya harus membalas.
Salah satu sumbangan yang biasa diberikan adalah kain tenun tradisional khas Papua.Tersebarnya kain tenunan tradisional yang disebut kain timur itu bermula tiga abad yang lalu, kain-kain itu dibawa oleh orang Portugis untuk dibarter dengan hasil alam Papua, seperti damar. Kain timur adalah tenunan ikat yang berasal dari Timor, Flores, Seram.
Anu Beta Tubat atau gotong royong dalam bidang pendidikan. Untuk membiayai pendidikan anak, orang Maybrat di Papua Barat mengatasi kendala ketiadaan bangunan sekolah, kekurangan guru, membantu guru yang hidup pas-pasan, kesulitan anak didik melanjutkan ke jenjang lebih tinggi.
Dalam orientasi ini, ada semangat gotong royong anu beta tubat, orang Maybrat bekerja sama, berkorban, demi pendidikan anak-anak mereka. Orang Maybrat bergotong royong membangun sekolah, mengumpulkan makanan untuk guru, membuka kebun untuk guru bercocok tanam, membangun asrama bagi anak-anak yang melanjutkan sekolah di kota, jauh dari kampung dan bergotong royong membantu biaya anak-anak saat melanjutkan kuliah.
Semboyan adat Anu Beta Tubat untuk menjaga kohesi sosial budaya. Leluhur orang Maybrat sejak berabad-abad silam harus berjuang keras untuk bertahan hidup di alam pegunungan karst yang kurang subur. Kondisi hujan yang turun tidak menentu membuat tanaman mati kekeringan. Disitulah manusia harus bertahan dengan binatang buruan, buah-buahan hutan, serta ikan-ikan di danau.
Sehingga, kebersamaan menaklukan ganasnya alam menjadi penting untuk dilakukan oleh orang Maybrat. Kerasnya tantangan alam di Papua membuat masyarakat Maybrat sejak puluhan tahun silam menyadari pentingnya budaya saling membantu untuk mewujudkan kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat.
Secara harfiah, Anu Beta Tubat memiliki arti "bersama kami mengangkat".Dalam implementasinya, budaya Anu Beta Tubat telah berlangsung turun-temurun menjadi penjaga harmonisasi kehidupan dari masyarakat Maybrat dan masih berlangsung hingga saat ini. Praktik budaya Anu Beta Tubat berlandaskan gotong royong, self support, dimana beban satu orang untuk bersama-sama dipikul oleh seluruh masyarakat Maybrat di Provinsi Papua Barat. Anu Beta Tubat yang berarti bersama kita semua mengangkat suatu beban.
Gagasan Alami
Sampai hari ini gagasan dan praktik budaya kebersamaan berbasis lokal Anu Beta Tubat masih tumbuh di tengah-tengah masyarakat Maybrat Papua Barat Daya. Dengan semangat Anu Beta Tubat, masyarakat Maybrat secara kolektif berani dan membangun atau memperbaiki gedung sekolah, membeli buku-buku pelajaran, membantu pembiayaan ujian anak-anak mereka. Kemiskinan tidak menjadi penghalang bagi masyarakat Maybrat untuk dapat memperoleh pendidikan baik.
Masyarakat bergotong royong mengadakan fasilitas untuk sekolah dan membayar gaji guru honorer. Berbagai macam program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah telah menyerap praktik budaya Anu Beta Tobat sehingga pelaksanaannya sejalan dengan kehidupan sosial dan budaya dari masyarakat. Masyarakat Maybrat telah membuktikan bahwa praktik "gotong royong" berbasis budaya melalui karya budaya Anu Beta Tobat membawa mereka untuk menapaki kesejahteraan hidup yang lebih baik dari masa ke masa.
Pakar filsafat Indonesia, M. Nasroen menyatakan bahwa, gotong royong adalah salah satu filosofi terpenting bagi bangsa Indonesia, sehingga dengan filosofi itu, Indonesia bisa bertahan di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Gotong royong di bahasakan dengan sebutan yang berbeda di berbagai daerah di Indonesia, namun mengandung makna yang sama.
Budaya Indonesia yang kolektif hadir dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Budaya Indonesia memandang keragaman sebagai sifat inheren masyarakat karena tercermin dalam artefak cerita rakyatnya. Konsep utama untuk hidup dengan keragaman adalah harmoni sosial atau keseimbangan kosmologis manusia, alam, dan Tuhan; semuanya ada pada tempatnya.
Budaya anu beta tubat menjadi cerminan dari urgensinya kebersamaan dan gotong royong dalam interaksi masyarakat Indonesia. Karena tak dapat dipungkiri jika saat ini budaya gotong royong sedang mengalami entropi budaya yang artinya sistem nilai dari budaya tersebut masih ada, namun sistem sosial yang ada didalam budaya tersebut tidak mampu lagi memotivasi dan mengontrol perilaku yang ada di masyarakat.
Tujuan tulisan ini adalah menawarkan sebuah gagasan berupa internalisasi nilai-nilai budaya gotong royong sehingga diharapkan masyarakat Indonesia tidak hanya memahami dan mengingat kembali budaya gotong royong tetapi juga memahami nilai yang terkandung dan menjadikan budaya tersebut sebagai identitas yang melekat khususnya ke dalam diri setiap individu.
Jika seluruh masyarakat Indonesia menjadikan gotong royong sebagai identitas diri sebagai bangsa Indonesia maka secara otomatis identitas diri tersebut akan menjadi identitas nasional yang memberi perlindungan soliditas dan kesatuan Indonesia.
***
*) Oleh : Sanovi Christian, Kordinator dan Sekretaris Yayasan Teman Budaya Papua.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |